Baca Juga
Ini adalah kisah dari Seorang guru dan tentunya setiap guru
dimana pun mereka berada pasti pernah mengalaminya termasuk saya sendiri.
Bayangkan saja di zaman yang serba canggih ini perjuangan seorang guru yang
begitu sangat berjasa untuk menjadikan anak-anak bangsa berpikir cerdas,
sukses, kaya bahkan memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi hanya mendapatkan
upah tak lebih tinggi dari kuli bangunan. Sungguh menyedihkan bukan?
Kami para guru bukannya tak ikhlas atas ilmu yang kami
berikan, tapi perkembangan ekonomi saat ini menuntut kami untuk hidup mengikuti
zaman. Gaji yang tak seberapa tak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami
sehari-hari. Seperti pribahasa "Lebih besar pasak daripada tiang".
Kisah yang akan saya bagikan ini diambil dari salah satu
stasiun Televisi yang tak sengaja saya tonton, dan ingin saya bagikan untuk
seluruh guru yang perjuangannya mungkin sama.
Berikut kisahnya:
Susita, gadis berusia 23 tahun, sarjana lulusan FKIP
Geografi Universitas Hazairin Bengkulu. Ia berprofesi sebagai guru Madrasah
Tsanawiyah Syuhadan di Desa Aur Cina,
Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko. Untuk pengabdiannya ini Susita
digaji senilai lima gorengan atau Rp 5.000 per jam. Sungguh miris bila di
bandingkan dengan perkembangan zaman saat ini.
"Hanya ini yang bisa saya buat untuk kampung saya, gaji
itu hanya bisa di gunakan untuk pengganti bensin, dan saya tidak pernah minta
bayaran untuk semua ini," kata gadis belia ini, yang biasa mengajar ilmu
pengetahuan sosial (IPS) dan muatan lokal tentang lingkungan hidup ini.
Sejak lulus kuliah pada 2014, Susita langsung pulang
kampung. Dia melanjutkan hidupnya di kampungnya sendiri. Kemudian Susita diminta
oleh Muhammad Zabur, pemilik MTs Syuhada, untuk mengajar di sekolah gratis
miliknya. Bagi Susi ( biasa ia dipanggil) gaji bukanlah hal yang utama. Baginya
pendidikan anak-anak di desanya jauh lebih penting dari apapun. Dia ingin
memajukan desanya terutama dalam masalah pendidikan. Karena selama ini banyak
anak usia sekolah itu gagal melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi
karena tak ada biaya atau biaya tak cukup untuk melanjutkan sekolah.
Susita mengaku dalam sepekan dia mengajar tiga kali, dengan
total jam mengajar 10 jam per pekan. Setiap bulannya Susi hanya mengantongi Rp
200.000,00, uang Rp 200.000,00 hanya cukup dia gunakan sebagai pengganti uang
bensin untuk mengajar dari rumah ke sekolah. Karena jarak dari rumah ke sekolah
cukup jauh, untuk sampai ke tempat mengajar
susi biasanya menggunakan
kendaraan bermotor. Jalan yang dia lalui untuk sampai di sana penuh koral dan penuh lubang.
Untuk sampai ke
sana pun ternyata butuh perjuangan yang tak mudah.
Jika musim penghujan tiba jalanan ini pun sudah pasti berlumpur dan
licin. Namun hal itu tidak menghalanginya niat susi untuk tetap berangkat , ia
tetap berangkat untuk berbagi ilmu dengan anak-anak didiknya di sekolah yang
berada di tepian hutan tersebut. "Kalau bukan kita siapa lagi yang
mendidik mereka karena tak semua orang mau dan bisa mengajar seperti saya
dengan gaji dan perjuangan seperti ini," ujar Susita.
Ternyata Susita tidak sendiri dalam mengajar, perjuangan
meningkatkan taraf pendidikan bagi masyarakat di desanya itu dilakukannya bersama 14 orang guru lainnya.
Mereka mendapatkan gaji yang sama seperi Susita , dan terkadang harus bersabar
hingga beberapa bulan karena gaji tidak diberikan tiap bulan, biasanya harus
menunggu sampai beberapa bulan. Terkadang mereka mengajar dengan membeli bensin
dari kantong sendiri dulu.
Mereka semua adalah anak-anak asli kampung tersebut. Sama
halnya seperti Susi, setelah
menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah mereka pun kembali ke desanya.
Mengabdi untuk berbuat sesuatu bagi anak di desa mereka agar dapat mendapatkan
pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya.
Saat ini Susi merasa apa yang dia dan teman-temannya lakukan
sedikit demi sedikit sudah memberi banyak perubahan di desa terutama dalam hal
pendidikan. Sangat jarang saat ini melihat anak di desanya yang tidak sekolah.
"Allhamdulillah saat ini, tidak ada lagi anak kami yang tidak sekolah
karena alasan tidak ada biaya," tuturnya.
Menurut Susita semua ini, tidak terlepas dari ide dan
perjuangan Pak Zabur untuk mendirikan sekolah menengah gratis di kampung
mereka. Sosok Pak Zabur, menurut Susita, adalah sosok yang sangat dibutuhkan
bagi desa mereka. Karena sebelumnya tidak ada orang yang peduli terhadap
persoalan pendidikan tersebut.” Pak Zabur adalah adalah sosok Pahlawan,
perjuangannya mendirikan sekolah gratis bagaikan angin segar untuk desa kami”
kata Susita.
Susi berharap sekolah yang dibangun Pak Zabur dapat terus
berkembang dan semakin baik. Ia meminta pemerintah membantu fasilitas sekolah
milik Pak Zabur mulai dari buku dan media pembelajaran lainnya, yang saat ini
masih sangat minim sekali.
Salah seorang orang tua murid, Janin, 40 tahun, mengaku
keberadaan sekolah MTs Syuhada milik Zabur sangat menolong mereka. Karena jika
tidak ada sekolah tersebut, anak-anak mereka pasti putus sekolah karena tidak
ada biaya.
Baca Juga Artikel Menarik Lainnya :